Kepada
Seseorang yang kuanggap sahabat tererat untuk sahabatku
Ditengah hampar laut nan biru
Melawan karam yang terus menderu
Sahabat……
Tanganmu yang dulu pernah memeluk tubuhku,masih terasa sampai sekarang. Hangatnya adalah pucuk ingatan yang tak sudah dimana kau menjelma menjadi pohon rimbun luas,tak mampu kutangkap lewat pupil.
Dan akupun mencarimu, sepanjang kelok jalan, simpang desa,sembari menyibak cuaca yang menanam benih luka. Betapa rahasiamu tetap jadi kubur yang cepat hambur.
Hanya ada sisa suara yang mampu kusimak perlahan,suara gemuruh dari hati pertama,tempat engkau pernah berkaca dan angin yang terusir mencuri detak yang terukir
Gemuruh itu makin riuh,membekas dalam diriku. Jadi suara sura yang pernah mengganggu setiap aku ingin beranjak lepas dari perjalanan. Sebab alamat rumah mana lagi yang dapat kutemui, selain sakit pada sepi yang tak pernah mati
Tanganmu itu jadi lambaian Ikatan para petualang, serupa aku, mencari cermin tubuh yang lama terbelah tak mau sembunyi kemana- mana
Kenangan yang tak tersisa di album lama menyatu debu ditengah hati padu. Debu luka kini tak lagi dijangkau. Tarianmu hanya isyarat pertemuan tanpa kata sepikan aku dalam remuk dunia.
Ditengah sesal akhir tangis mengabur, karang tak menyatu dengan pasir, langit tak terkikis kelam
Parasmu kandas pada hamparan kertas,kenangkupun tandas. Larik – larik isak menggurat jejak antara kita selalu kutulis serupa. Tubuhku beku dalam waktu, jiwaku larut dalam lelehan lilin.
Senja mengulum kenangan, sunyikan parasmu pada baris barisku
Sudah kulipat tetesan senja dan keringat berbasa, akan kutitipkan kepadamu angin darat menua selipkan dibiru laut yang diam, barangkali dia akan menjenguk sejenak tepian laut yang hampar garam.
Kini lelahku sudah demikian mengkarang tiap kali telanjang pandang dari bilik kebutaan pada arus kali yang turun dari lembah pegunungan slalu tertampar kedangkalan pucuk lidahmu. Sekali lagi di pasir beruban yang tersucikan (bukan maksud memutihkan dendam) karena memang daratan yang dulu memenggal hasrat lidah gelombang namun tak semestinya menjulur kebengisan
Kumohon bukan waktu yang tepat lagi ketika angin darat telah mengkarat, kerinduan makin menua,semua memaksa perjuangan mengikis cinta dan kesetiaan. Birumu masih diam penuh kedalaman
Sebenarnya
Dari pangkal kuku hingga ujung rambutku
Kuyakini kau sebagai nafasku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar